Pecel Anthem Harga Merakyat
“Pecel anthem?
Ah, yang benar saja!” Begitulah
suasana psikologis yang menyelimuti pikiranku ketika hendak mengawali tulisan
tentang Warung Pecel Bu Sumo. Jujur saja, sebenarnya warung pecel satu ini
sudah terlalu terkenal untuk diperkenalkan bagi warga Semarang dan sekitarnya.
Sudah banyak yang tahu.
Tapi bagi jurnalis yang intens menulis aneka produk
kuliner, rasanya agak berdosa juga jika nama Bu Sumo kutinggalkan begitu saja
tanpa secoret tulisan apa pun di blog ini. Mengapa? Karena keberadaan Warung
Pecel Bu Sumo tersebut sudah menjadi bagian dari ikon kuliner rakyat Semarang.
Namanya telah melegenda. Warung pecel tradisional
ini dibuka sepasang suami-istri, Sumo Dimejo dan Warisah, pada tahun 1965 di
Jalan Menteri Supeno Semarang. Warung tersebut menempati sebidang tanah kosong
milik orang lain.
Sambal kacang pecel racikan Bu Sumo ternyata disukai
orang. Pelanggan baru pun terus bertambah. Duka sempat menimpanya ketika tanah
kosong tempat warungnya berdiri dibangun pemiliknya. Bu Sumo sempat tidak
berjualan beberapa tahun.
Tapi akhirnya pada 1988 warungnya buka lagi di Jalan
Kyai Saleh. Tak butuh waktu lama, warung pecel rakyat ini pun kembali ramai
dipadati pembeli. Regenerasi penjual pun terjadi. Seusai Sumo Dimejo dan
Warisah meninggal, kelima anaknya tetap berusaha meneruskan usaha orang tuanya.
Mereka membuka beberapa warung pecel baru bersama anggota keluarga lainnya,
dengan nama paten seragam: “Warung Pecel Bu Sumo”.
Bahkan kini sejumlah warungnya sudah dikelola generasi
ketiga Bu Sumo, atau cucunya. Salah satu cucunya yang kini aktif mengelola
warung pecel di Jalan Kyai Saleh Semarang adalah Sugiyarto (45 tahun). Lelaki
ini menuturkan, ia sudah 8 tahun membantu berjualan pecel di salah satu cabang
warung di kawasan Jalan Kyai Saleh.
Anggota keluarga Bu Sumo, jelas Sugiyarto,
diprioritaskan menjadi pengelola cabang-cabang baru. Sebab, warung pecel
tersebut memang diwariskan sebagai usaha keluarga secara bersama-sama. Hingga
Januari 2015, sudah 9 cabang warung dibuka, yaitu di Jalan Kyai Saleh (3
cabang), Banyumanik, Anjasmoro, Fatmawati, Ngresep, Ungaran, dan Jatisari.
Menurut Sugiyarto, tidak ada resep yang diajarkan
secara khusus di keluarga Bu Sumo. “Semuanya belajar membuat pecel dari
kebiasaan berjualan tiap hari di warung. Dari kebiasaan inilah tertular standar
rasa pecel Bu Sumo.
Rasa tersebut hingga sekarang rupanya masih
bertahan. Demikian harganya yang merakyat tetap dipertahankan. Satu porsi nasi
pecel Rp 6.500. Bila ditambahi lauk mangut, ditambahi Rp 11.000. Ada juga lauk
lain, yaitu paru, lidah, daging, babat, dan iso, dihargai sama Rp 7.000. Bila
menggunakan tambahan lauk telor, cukup ditambahi Rp 2.500. Ada juga lauk yang
murah, yakni gorengan Rp 700 per biji. Selain
pecel, Bu Sumo juga menyediakan menu soto. Harganya juga merakyat: Rp 6.500.
Dengan harga merakyat dan rasanya pun enak, maka tak
salah jika para karyawan di sekitar warung Bu Sumo berada, memilihnya sebagai
pilihan tempat makan siang di hari kerja. Murah, bro! Warung ini seakan menjadi daftar warung makan yang wajib
diketahui para karyawan.
Maka tepatlah kiranya ketika di awal tulisan ini,
sebuah istilah baru kusandangkan buat warung pecel Bu Sumo: Pecel Anthem! Ya,
istilah itu terinspirasi dari “national
anthem”, atau lagu kebangsaan yang wajib dinyanyikan siapapun. Pecel anthem
berarti pecel yang wajib dinikmati. Begitulah artinya, hehehe…. Selamat menikmati!
(Lawu Budiarjo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar