Steak Campur Nasi? Asyik Juga!
Awalnya aku terperangah. Sajian menunya tak lazim.
Aku merasa asing. Masak daging steak
dicampur nasi? Tapi lama kelamaan, koq
matching juga di perut. Itu terjadi
beberapa tahun lalu. Sekarang, aku benar-benar bisa melahap nikmat steak
tenderloin bersama nasi.
Aku kembali saksikan pengunjung lain, ternyata juga
sama. Mereka asyik menikmati menu khas Waroeng Steak and Shake di Jalan
Sriwijaya Semarang. Hasil kolaborasi antara menu steak yang diimpor dari Barat
dengan makanan pokok nasi khas Indonesia ini rupanya cukup sukses diminati
masyarakat.
Padatnya pengunjung rumah makan ini ikut meneguhkan
kesuksesan tersebut. Suasana seperti ini ternyata juga terjadi di cabang
Waroeng Steak and Shake lain di Semarang. Selain di Jalan Sriwijaya, rumah
makan ini juga membuka di Jalan Kartini, Imam Bonjol, Setia Budi, dan Kelud
Semarang.
Ya, konsumen kuliner Kota Lunpia saat ini ternyata
makin realistis ketika melihat kebutuhan kudapan. Tak ada lagi istilah tabu
saat memilih menu. Jika rasanya enak, ya dimakan saja. Mereka tidak lagi peduli
bahwa di negara asal menu steak diciptakan, tidak ada komposisi nasi yang
dimakan secara bersama.
Sebagai benarolog yang lebih memandang aktivitas
kuliner sebagai proses sosiologis dan psikologis, aku anggap fenomena ini
sah-sah saja. Jika disuruh menilai, maka aku lebih memosisikan layaknya juri
Indonesian Idol.
Meracik menu kuliner kan sebenarnya mirip bernyanyi. Seorang
penyanyi yang melantunkan lagu Barat, misalnya, tidak mesti meniru persis gaya
penyanyi asli. Bisa saja aransemen musiknya diubah, disesuaikan warna vokal
penyanyi. Demikian pula tempo dan nada dasar iringan lagunya. Penyanyi yang
tampil dengan jati diri sendiri justru yang terasa lebih nikmat didengar karena
lebih berkarakter.
Maka, ketika steak ini pun diharmonisasikan dengan
nasi, yang kulihat justru seperti seperti penyanyi yang menyanyi dengan
aransemen, nada dasar, tempo, dan improvisasi sendiri. Kata kuncinya kan sebenarnya
terletak pada seberapa pas harmonisasinya. Dan kebetulan harmonisasi kali ini
bisa pas.
Bicara soal nasi, adakah orang di Jawa Tengah yang
tidak mengenal dan menghindarinya? Ini makanan pokok, bro! Semua orang
memakannya. Bahkan sehari rata-rata 3 kali lidah kita mengunyah nasi. Ada
identifikasi yang sudah tertanam dalam di masyarakat kita, seseorang belum
dikatakan makan jika belum memasukkan nasi.
Menu asing yang dikombinasi dengan nasi di negeri ini,
tidaklah bakal mengalami delegitimasi. Rasionalitas lebih berbicara. Barangkali
hanya sedikit komunitas saja yang masih gengsi atau malu-malu saat melahap nasi
bercampur nasi seperti ini. Tapi arus besar masyarakat kita justru lebih
adaptif dengan gaya kuliner seperti ini.
Steak beef sirloin plus nasi dan kentang lokal di Waroeng Steak and Shake |
Bahkan menu steak plus nasi mendapat tempat baru di
hati konsumen. Yang semula, makan steak sekadar untuk memenuhi kebutuhan
rekreatif, berubah menjadi kebutuhan primer. Yang semula kebutuhannya
paling-paling sebulan sekali, kini makan steak plus nasi menjadi seperti
kebutuhan makan sehari-hari. Menu ini pun bisa menjadi substitusi makan rutin 3
kali sehari.
Sebuah perubahan budaya makan, memang telah terjadi
di sekitar kita. Chef yang mendapat tempat di masyarakat adalah yang bisa
menyelaraskan dengan budaya kuliner masyarakat kita sebelumnya. Bukan yang
memusuhi.
Modifikasi tambahan tepung pada menu beef pada steak yang disajikan di rumah
makan ini layak diapresiasi. Kali ini pertimbangannya lebih bersifat ekonomis.
Menu steaknya memang ditambahi tepung dalam jumlah banyak guna meningkatkan
volume maupun penampilan saat makanan dihidangkan di meja.
Itu bisa dilihat dari menu-menu khusus berharga murah
andalan Waroeng Steak and Shake. Yaitu, sirloin,
tenderloin, chicken, dan shrimp. Rumah makan ini menamai menu-menu andalan
tersebut dengan istilah “Steak ala Waroeng”. Harganya murah, semua di bawah Rp
20 ribu.
Sirloin dan tenderloin dibanderol Rp 15.000. Sirloin
dan tenderloin paket double yang ukurannya lebih besar Rp 19.500. Chicken steak
paket murah dibanderol Rp 12.500, yang double Rp 15.500. Shrimp Rp 15.500. Nah,
ada satu lagi menu yang diberi nama “Steak Waroeng”, harganya juga miring, Rp
15.000.
Selain itu, ada juga paket steak lain berbahan dasar
ikan. Paket tersebut dinamai “Steak Ikan”. Bisa dipilih tuna pepper, tuna
mushroom (Rp 15.500), atau steak kakap dan cumi (Rp 13.500). Bagi yang
menginginkan nasi tersedia nasi paprika ayam (Rp 10.500 ), nasi paprika sapi
(Rp 12.500), french fries (Rp 7.500), dan spaghetti (Rp 9.000).
Bagi yang menginginkan menu steak original seperti
impor asli, tersedia paket beef steak dan blackpepper (Rp 22.500). Kalau yang
ini, kadar tepungnya tidak ada di beef. Asli seperti steak impor. Ada juga chicken
mushroom (Rp 16.000), sirloin import (Rp 35.500), chicken pepper (Rp 16.000),
steak burger beef (Rp 17.500), dan steak burger chicken (Rp 15.000).
Tersedia pula chicken drum stick (Rp 12.500) dan
chicken cordon bleu (Rp 16.000). Bagi yang suka kentang atau potato, ada versi
murah di sini. Kentangnya lokal. Irisannya besar-besar, namun pendek. Beginilah
memang khas kentang lokal yang ukurannya memang lebih kecil dibanding yang
impor.
Tapi dalam soal rasa, bisa dikatakan hampir samalah
antara kentang impor dan lokal. Harga paket menu kentang lokal di sini hanya Rp
4.000. Justru sekali lagi, aku melihat kejelian chef rumah makan ini yang mampu
menyajikan menu impor dengan kandungan lokal. Toh, dalam soal selera,
kebanyakan konsumen negeri ini banyak menggantungkan kepada bumbu yang
menyertainya.
Percuma saja jika kentangnya impor, tapi bumbunya nggak match di lidah orang Indonesia.
Hanya gengsi yang barangkali didapat. Tapi dalam soal kenikmatan rasa, bumbunya
yang lebih menjadi pertaruhan. Ya, ini memang soal habbit. Soal kebiasaan saja.
Sebab, orang Indonesia memang lebih menyukai bumbu yang agak ekstrem pada rasa
tertentu. Bukan yang rasanya soft
atau hambar. Jika asin, ya asinnya terasa. Jika manis, ya manisnya terasa. Jika
pedas, pedasnya pun juga harus terasa.
Beginilah memang iklim kuliner di negeri ini.
Selamat mencoba di Waroeng Steak and Shake. (Lawu Budiarjo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar