Rabu, 14 Januari 2015

Waroeng Steak and Shake Jl Sriwijaya Semarang


Steak Campur Nasi? Asyik Juga!

Awalnya aku terperangah. Sajian menunya tak lazim. Aku merasa asing. Masak daging steak dicampur nasi? Tapi lama kelamaan, koq matching juga di perut. Itu terjadi beberapa tahun lalu. Sekarang, aku benar-benar bisa melahap nikmat steak tenderloin bersama nasi.
Aku kembali saksikan pengunjung lain, ternyata juga sama. Mereka asyik menikmati menu khas Waroeng Steak and Shake di Jalan Sriwijaya Semarang. Hasil kolaborasi antara menu steak yang diimpor dari Barat dengan makanan pokok nasi khas Indonesia ini rupanya cukup sukses diminati masyarakat.

 
Padatnya pengunjung rumah makan ini ikut meneguhkan kesuksesan tersebut. Suasana seperti ini ternyata juga terjadi di cabang Waroeng Steak and Shake lain di Semarang. Selain di Jalan Sriwijaya, rumah makan ini juga membuka di Jalan Kartini, Imam Bonjol, Setia Budi, dan Kelud Semarang.
Ya, konsumen kuliner Kota Lunpia saat ini ternyata makin realistis ketika melihat kebutuhan kudapan. Tak ada lagi istilah tabu saat memilih menu. Jika rasanya enak, ya dimakan saja. Mereka tidak lagi peduli bahwa di negara asal menu steak diciptakan, tidak ada komposisi nasi yang dimakan secara bersama.
Sebagai benarolog yang lebih memandang aktivitas kuliner sebagai proses sosiologis dan psikologis, aku anggap fenomena ini sah-sah saja. Jika disuruh menilai, maka aku lebih memosisikan layaknya juri Indonesian Idol.
Meracik menu kuliner kan sebenarnya mirip bernyanyi. Seorang penyanyi yang melantunkan lagu Barat, misalnya, tidak mesti meniru persis gaya penyanyi asli. Bisa saja aransemen musiknya diubah, disesuaikan warna vokal penyanyi. Demikian pula tempo dan nada dasar iringan lagunya. Penyanyi yang tampil dengan jati diri sendiri justru yang terasa lebih nikmat didengar karena lebih berkarakter.
Maka, ketika steak ini pun diharmonisasikan dengan nasi, yang kulihat justru seperti seperti penyanyi yang menyanyi dengan aransemen, nada dasar, tempo, dan improvisasi sendiri. Kata kuncinya kan sebenarnya terletak pada seberapa pas harmonisasinya. Dan kebetulan harmonisasi kali ini bisa pas.
Bicara soal nasi, adakah orang di Jawa Tengah yang tidak mengenal dan menghindarinya? Ini makanan pokok, bro! Semua orang memakannya. Bahkan sehari rata-rata 3 kali lidah kita mengunyah nasi. Ada identifikasi yang sudah tertanam dalam di masyarakat kita, seseorang belum dikatakan makan jika belum memasukkan nasi.

Steak beef sirloin plus nasi dan kentang lokal di Waroeng Steak and Shake
      Menu asing yang dikombinasi dengan nasi di negeri ini, tidaklah bakal mengalami delegitimasi. Rasionalitas lebih berbicara. Barangkali hanya sedikit komunitas saja yang masih gengsi atau malu-malu saat melahap nasi bercampur nasi seperti ini. Tapi arus besar masyarakat kita justru lebih adaptif dengan gaya kuliner seperti ini.
Bahkan menu steak plus nasi mendapat tempat baru di hati konsumen. Yang semula, makan steak sekadar untuk memenuhi kebutuhan rekreatif, berubah menjadi kebutuhan primer. Yang semula kebutuhannya paling-paling sebulan sekali, kini makan steak plus nasi menjadi seperti kebutuhan makan sehari-hari. Menu ini pun bisa menjadi substitusi makan rutin 3 kali sehari.
Sebuah perubahan budaya makan, memang telah terjadi di sekitar kita. Chef yang mendapat tempat di masyarakat adalah yang bisa menyelaraskan dengan budaya kuliner masyarakat kita sebelumnya. Bukan yang memusuhi.
Modifikasi tambahan tepung pada menu beef pada steak yang disajikan di rumah makan ini layak diapresiasi. Kali ini pertimbangannya lebih bersifat ekonomis. Menu steaknya memang ditambahi tepung dalam jumlah banyak guna meningkatkan volume maupun penampilan saat makanan dihidangkan di meja.
Itu bisa dilihat dari menu-menu khusus berharga murah andalan Waroeng Steak and Shake. Yaitu,  sirloin, tenderloin, chicken, dan shrimp. Rumah makan ini menamai menu-menu andalan tersebut dengan istilah “Steak ala Waroeng”. Harganya murah, semua di bawah Rp 20 ribu.
Sirloin dan tenderloin dibanderol Rp 15.000. Sirloin dan tenderloin paket double yang ukurannya lebih besar Rp 19.500. Chicken steak paket murah dibanderol Rp 12.500, yang double Rp 15.500. Shrimp Rp 15.500. Nah, ada satu lagi menu yang diberi nama “Steak Waroeng”, harganya juga miring, Rp 15.000.
Selain itu, ada juga paket steak lain berbahan dasar ikan. Paket tersebut dinamai “Steak Ikan”. Bisa dipilih tuna pepper, tuna mushroom (Rp 15.500), atau steak kakap dan cumi (Rp 13.500). Bagi yang menginginkan nasi tersedia nasi paprika ayam (Rp 10.500 ), nasi paprika sapi (Rp 12.500), french fries (Rp 7.500), dan spaghetti (Rp 9.000).
Bagi yang menginginkan menu steak original seperti impor asli, tersedia paket beef steak dan blackpepper (Rp 22.500). Kalau yang ini, kadar tepungnya tidak ada di beef. Asli seperti steak impor. Ada juga chicken mushroom (Rp 16.000), sirloin import (Rp 35.500), chicken pepper (Rp 16.000), steak burger beef (Rp 17.500), dan steak burger chicken (Rp 15.000).
Tersedia pula chicken drum stick (Rp 12.500) dan chicken cordon bleu (Rp 16.000). Bagi yang suka kentang atau potato, ada versi murah di sini. Kentangnya lokal. Irisannya besar-besar, namun pendek. Beginilah memang khas kentang lokal yang ukurannya memang lebih kecil dibanding yang impor.
Tapi dalam soal rasa, bisa dikatakan hampir samalah antara kentang impor dan lokal. Harga paket menu kentang lokal di sini hanya Rp 4.000. Justru sekali lagi, aku melihat kejelian chef rumah makan ini yang mampu menyajikan menu impor dengan kandungan lokal. Toh, dalam soal selera, kebanyakan konsumen negeri ini banyak menggantungkan kepada bumbu yang menyertainya.
Percuma saja jika kentangnya impor, tapi bumbunya nggak match di lidah orang Indonesia. Hanya gengsi yang barangkali didapat. Tapi dalam soal kenikmatan rasa, bumbunya yang lebih menjadi pertaruhan. Ya, ini memang soal habbit. Soal kebiasaan saja. Sebab, orang Indonesia memang lebih menyukai bumbu yang agak ekstrem pada rasa tertentu. Bukan yang rasanya soft atau hambar. Jika asin, ya asinnya terasa. Jika manis, ya manisnya terasa. Jika pedas, pedasnya pun juga harus terasa.
Beginilah memang iklim kuliner di negeri ini. Selamat mencoba di Waroeng Steak and Shake. (Lawu Budiarjo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar