Rabu, 07 Januari 2015

Lombok Idjo Jalan Gajahmada Semarang


Rumah Makan Sejuta Umat 


    “Waduhhh antre!” ungkap seorang pengunjung. Bersama dua anaknya, pengunjung itu pun lantas dipersilakan pramusaji duduk di deretan antrean. Selang 10 menit kemudian, barulah ada meja kosong. Rombongan sekeluarga ini pun bergegas menuju meja tersebut.
Beginilah suasana rumah makan Lombok Idjo di Jalan Gajahmada Semarang saat jam makan siang atau malam tiba. Lebih-lebih malam libur, pengunjung yang datang di “injure time” harus merelakan diri untuk antre. Di kawasan Jalan Gajahmada, rumah makan ini bisa dibilang paling dipadati pengunjung. 
Dilihat dari kendaraan yang parkir pun juga sebenarnya sudah bisa ditebak, rumah makan ini selalu dijejali “manusia-manusia kelaparan” yang ingin secepatnya melahap menu ayam goreng khas Lombok Idjo. Padahal, ukuran rumah makan ini terbilang besar untuk ukuran Semarang. Apalagi lokasinya di jantung kota.
Toh, lokasi yang luas juga belum bisa dijadikan jaminan pengunjung yang membludak tertampung di sediaan meja kursinya. Sebenarnya di rumah makan ini terdapat lebih dari 50 meja makan. Jika setiap meja diisi 4 orang, maka setiap angkatan terdapat lebih dari 200 orang memenuhi meja makan Lombok Ijo.
Agaknya tak salah kalau saya memasukkannya ke dalam kategori “rumah makan sejuta umat”.Ya, dengan banyaknya pengunjung ini sebenarnya memang pantas predikat tersebut saya sandangkan ke Lombok Ijo di Jalan Gajahmada.
Mengapa? Pertanyaan inilah sebenarnya yang menggelitik saya untuk menulis tentang Lombok Ijo di blog kuliner ini. Faktor pertama, harganya terjangkau semua kalangan. Kalangan bersepeda motor tampak ikut menjejali halaman parkirnya. Segmen menengah ke bawah pun merasa enjoy makan di sini.

                                                          Menu andalan ayam goreng

 Menu andalan rumah makan ini, ayam goreng bagian dada dan paha plus lalap sambal, dibanderol Rp 11.364. Harga sama juga berlaku untuk menu dada dan paha bakar. Untuk menu kepala goreng, lebih murah lagi: Rp 2.728. Bila pilihan menunya kebetulan yang paling murah, total 1 porsi makan di sini bisa nggak sampai sepuluh ribu rupiah.
Untuk menu berbahan dasar daging sapi, harganya lebih mahal sedikit. Tapi masih tergolong miring untuk ukuran rumah makan sebesar Lombok Ijo ini. Empal goreng penyet, Rp 15 ribu. Sop buntut, sop iga, iga bakar, dan buntut bakar, berbanderol sama: Rp 26.364.
Menu lain, pecel lele sambel tomat Rp 7.500. Nila goreng sambel terasi Rp 9.500. Untuk nila bakarnya selisih sedikit, yakni Rp 10.910. Gereh layur pun murah, Rp 5 ribu. Sayur bening Rp 5 ribu. Sayur asem, balado terong, ca taoge, kangkung blacan, dan gudangan dihargai sama Rp 7.273. Menu rakyat lain tersedia juga di sini. Tempe tahu, baik yang digoreng, dibakar, maupun dipenyet, harganya juga merakyat, di bawah Rp 5 ribu.
Sebagai jurnalis, rupanya saya juga tergelitik menyimak daftar harga ini. Saya temukan banyak sekali harga dengan angka pecahan tak lazim. Ada 26.364, kemudian 7.273, dan sejenisnya. “Pasti bingung ngasih uang kembaliannya,” gumamku.
Tapi ketergelitikanku untuk soal angka tak berlarut lama, sebab akal sehatku justru yang menjawab sendiri. Ini pasti bagian dari trik marketing! Mencoba membuat orang penasaran lewat harga yang tertulis aneh. Agar penasaran dan tertarik makan, begitulah kira-kira logika sederhananya. Tapi, ah, sudahlah, lebih baik pembahasan berlanjut ke soal kualitas rasa.
Jika faktor daya tarik pertama tadi saya tulis soal harga, adakah faktor rasa yang membuat pengunjung tertarik makan di sini. Ada! Selera lidah kebanyakan orang Jawa Tengah adalah gurih, dengan bahan dasar penyusunnya kelapa, garam, dan bawang.
Lombok Idjo telah menerapkan formula ini. Bumbu gurih ayam goreng yang jadi andalannya terasa sampai ke dalam. Tidak hanya di luarnya saja. Inilah sebenarnya selera sejuta umat ala Jateng saat ini. Dan ternyata terbukti, Lombok Idjo disukai banyak pengunjung. Tagline rumah makan ini: “Tempatnja makan semoea kalangan”, agaknya mengena juga. Selamat menikmati!     ( Lawu Budiarjo )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar